Selasa, 08 September 2020

Bab.II.Hal.3 Kulepas kamu dengan tangisan

3. Kulepas kamu dengan tangisan


Malam ini Ana datang dan menemui ku dengan wajah pucat dan gelisah. Kusodorkan segelas air putih untuk menenangkan nya. Setelah agak reda, kami mulai bicara.

"Ada apa" tanya ku pelan. Ana hanya menunduk dan diam bungkam.

"Bicaralah, Aku siap mendengarkan, apapun kabar nya" kata ku lagi

" Saya dilamar orang!" jawab Ana pendek.


Kalimat itu bak halililntar menyambar dada ku. Duaaar! Apa yang kutakutkan rupanya memang benar.  Tempo hari Aku sempat  dibisikkan oleh teman, bahwa jika selesai es em pe nya, Ana akan dinikahkan dengan lelaki yang di jodohkan oleh keluarga nya. Tapi  saat itu tak begitu kupedulikan. 

Dan malam ini, berita itu sampai dari mulut Ana sendiri. 
Aku termenung sejenak. Tak mampu berfikir normal. Bingung. Resah. Putus asa. dan entah perasaan apalagi lain nya. Campur aduk jadi satu.

 Cepat kukendalikan diri, duduk sejajar di sebelah nya. 

" Lantas, apa yang harus kita lakukan?" tanya ku.

Diluar dugaan, Ana langsung melepas seluruh perhiasan yang dikenakan, gelang, anting, kalung dan cincin emas nya. Sambil menggenggam , Ana berlutut dihadapan ku, dan berkata : 

"Ini gunakan buat modal hidup kita, bawa Ana pergi, kemana saja, agar kita bisa menikah, menjalani cinta dan hidup bersama !" kata nya.



Aku tercekat. Tak pernah kuduga bahwa ia akan senekat itu mengambil keputusan. Sejenak Aku tercenung, lalu berfikir. Jika kami memutuskan kawin lari, apa yang akan terjadi terhadap keluarga kami?  Bagaimana kami akan menjalani hidup? Kami masih sangat muda. Belum tau keras dan kejam nya dunia. Kami belum siap. Kami masih buta kehidupan.

  Ana mungkin benar, Dia telah tunjukkan kesetiaan dan kekuatan cinta nya. Tapi bagaimana dengan ku? Masih banyak cita - cita yang ingin kujangkau. Aku masih berkeinginan untuk memperbaiki nasib keluargaku. Mengubah situasi saat ini menjadi lebih baik. Membangun keluargaku. Mengubah nasib kami. Aku tak boleh egois.  

Disisi lain, aku takut tak sanggup membahagiakan Ana, jika kami menikah pada saat semua nya masih serba setengah jalan?  Aku masih kelas dua es em a, dan ana kelas tiga es em pe? Apa yang akan kulakukan? Apa yang akan kukerjakan? Bagaimana aku akan menafkahi anak dan istriku nanti?

" Ana, terima kasih atas bukti dan kesetiaan mu. Tapi ketahuilah, bahwa tidak ada satupun orang tua didunia ini yang meng inginkan putri nya menderita" kata ku, sambil menggenggam tangan nya. 

"Kita jangan dibutakan oleh perasaan. Kita memang saling mencintai, tapi saat ini, kita belum siap untuk menikah. Kita belum siap membina mahligai rumah tangga. Kita masih remaja yang sangat muda," lanjut ku sambil menahan sesak yang mulai menggerogoti relung dada. 

Ana mulai menangis  sesenggukan. Sampai dada dan tubuh nya nya berguncang. Aku mencoba menahan haru, agar terlihat kuat dan tabah.  Aku harus mampu menenangkan hati nya.  Kami harus menemukan solusi dari jalan buntu cinta ini. Jika kami tak mungkin untuk menikah saat ini, maka  pilihan nya adalah, Ana harus menerima keputusan keluarga nya. Dan Aku?  Aku harus rela melepas nya, mengikhlaskan cinta ku, dan mendoakan yang terbaik untuk Ana.  

Kami harus siap berpisah. Menjalani takdir hidup. Itulah pilihan nya.  Pilihan terbaik saat itu.  Demi semua orang.

Kami tak mungkin nekat kawin lari. Sebab itu hanya keputusan sesaat yang akan menuai akibat berkepanjangan. Kami akan menjalani sisa hidup dengan rasa bersalah, mengecewakan orang tua, menanggung dosa menjadi anak durhaka, terutama Ana. 

Keputusan kami adalah, :" terpaksa  berpisah." 

Tak lama kemudian Ana berpamitan dan pulang, itulah kali terakhir pertemuan kami, sebab setelah itu Ana di awasi dengan ketat oleh keluarga nya, tak diizinkan kan keluar rumah, setelah pulang dari sekolah.  Ana masuk pingitan.

Dalam kesedihan dan kesendirian, Aku kadang mem bayangkan wajah nya. Senyum dan tawa nya. Masa - masa indah ketika kami masih bersama. 



 Masih kuingat pernah suatu waktu, ketika itu bulan ramadhan. Tiba- tiba Ana datang dengan gulungan mukena terlipat ditangan. Wajah nya sumringah, penuh ke bahagiaan. Rupanya dengan alasan sholat tarawih di mesjid sultan, Dia menemuiku untuk mengobati kerinduan.  Kami tertawa bersama, berbagi kisah, berbagi cerita, berbagi cinta. Sampai sholat tarawih selesai, dan ia pamitan untuk pulang, dengan didampingi Trisna, sahabat baik nya. 

Malam ini aku tak bisa memejamkan mata. Perlahan air bening mengalir dari kelopak nya. Butir-butir airmata menetes dan membasahi bantal ku. Ya, ! aku menangis.

 Aku menangis karena tak mampu mempertahankan cinta kami. Aku menangis, karena tak mampu merenggut Ana dari takdir nya. Aku menangis, karena kami harus berpisah. Aku menangis karena ini harus kami jalani dan hadapi.

 Inilah hidup. Tak seindah bayangan memang. Tapi ia berjalan terus dan meninggalkan segala kenangan di belakang. Inilah mungkin penyebab kenapa Majnun sampai menjadi gila karena menunggu janji Laila nya. 

Sakit memang. Berpisah nya dua hati, seperti mencabut roh dari jasad nya. Membunuh cinta jauh lebih sengsara dari sekedar bunuh diri. 

Aku sesenggukan sampai tak sadar kapan aku tertidur malam itu.   



Cinta terbelah dua