Selasa, 08 September 2020

Bab.I. hal.3. Jalan Bareng

3. Jalan bareng


Malam minggu ini, sebetulnya aku ada undangan ulang tahun teman ku. Hanya saja aku bingung, apakah aku harus datang sendiri? Mengajak teman? Siapa yang akan menemani ku? Rata - rata, teman ku memiliki teman wanita pendamping nya. Sementara aku? Aku masih jomblo. 

Ana?  Aku tak punya cukup keberanian untuk mengajak nya. Tentu saja, karena aku sendiri tidak yakin, perasaan nya terhadap ku. Karena sampai detik ini, masih belum ada isyarat pasti, atau balasan surat dari nya?  Meski aku sudah menyatakan ingin berkenalan dan bersahabat dengan nya dalam surat itu, tapi belum ada ketegasan sikap dari nya?  

Apakah Dia mau kuajak jalan bareng? Untuk menemani ketempat acara itu.  Tapi kami belum begitu saling  mengenal?  Kami belum begitu dekat? Kami belum pernah ngobrol langsung berdua? 

Melalui sahabat nya,"Trisna," kusampaikan pesan, : 
" jika Ana  bersedia jalan denganku, kutunggu di rumah sahabat ku, Dina, nanti malam" begitu kata ku. 

Sabtu pagi pesan itu sampai ditangan nya di sekolah. 
Dan malam ini aku menunggu kedatangan Ana.

  Jantungku berdebar - debar. Aku gelisah, apakah Dia akan datang? Apakah dia mau jalan bareng dengan ku? Apakah aku tak terlalu lancang?  Apakah aku layak?  Apakah Dia sudah punya teman spesial?  

Pukul delapan malam, ternyata Ana datang, di antar teman  baik nya,: Trisna. Aku gembira sekali, dan serasa mendapat anugrah luar biasa malam itu.  
" Ini saya antar kan buah hati nya, " kata trisna sambil tersenyum. "Jangan lupa waktu ya, pukul setengah sepuluh nanti saya jemput kembali disini," sambung nya. 
Aku tersenyum dan mengucapkan trima kasih pada nya.   

Malam itu, Ana mengenakan setelan celana longgar, baju berwarna merah pucat, dengan rompi kecil berwarna merah. Dimata ku, Ia begitu anggun dan eksotis. Aura kecantikan alamiah tanpa polesan make up dengan lipstik tipis dibibir nya.  Aku masih ingat, waktu itu, ketika Ana  tersipu - sipu, dan bertanya, :
 " Jam berapa acara nya?" 
"Jam setengah sembilan malam ini, "jawab ku. Kita jalan sekarang?' Tanya ku lagi.
" He e, " jawab nya singkat, sambil menunduk.

Sekitar pukul delapan malam, Kami melangkah bersama, melewati lorong pintu kota, berbelok ke kanan, lewat jalan    gaya baru ,  menembus ke arah jembatan panjang kampung luar. Menuju ke Rumah teman ku itu di kawasan Kampung tambelan sampit. 

Malam itu, aku tahu, bahwa Ana menyukai ku. Aku tahu bahwa Ana menyimpan rasa nya untuk ku. Meski tanpa kata, hati kami mengalunkan rasa yang sama. Nada yang sama. Getar yang sama. Debaran yang sama.  Perlahan bunga mekar di jiwa. Perlahan, rasa indah menggelora. Jiwa kami serasa melayang ke sorga. Inikah cinta? 

Kadang terselip rasa bersalah, apakah kami  terlalu dini jatuh cinta? Tapi, kata orang, cinta bisa datang kapan saja, tak melihat tempat dan waktu, benarkah? Berdosakah jika kami jatuh cinta di usia dini? Salah kah? Entahlah!

Malam itu kami menikmati indah nya rasa kebersamaan. Sepanjang jalan, kami sempat mengobrol singkat. Bertukar cerita ringan, sesekali lengan kami bersentuhan. Sesekali kami tertawa bersama.  Ada perasaan aneh menyelusup. Bahagia, suka, dan entah apalagi. sampai tak terasa kami sudah tiba di depan pintu rumah Dina. 

Waktu sudah pukul setengah sepuluh malam. Ada Trisna menunggu untuk membawa nya pulang. Tapi kukatakan, aku akan mengantar nya. Ana sempat menolak, dan terlihat ragu - ragu, tapi aku bersikeras untuk mengantar nya sampai ke rumah. 

Setiba nya di dekat kediaman Ana, dua orang lelaki dewasa berdiri menunggu kami. Aku tak mengenal siapa mereka. Sempat kulihat kilatan ketakutan di mata Ana, tapi semua terlambat. Tiba - tiba saja, :  

"Plak,!" sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi sebelah kiri ku.

Aku terpana dan memegang pipi yang memar, mungkin berubah memerah, terasa  cukup sakit. Kulihat Ana menangis, dan segera ditarik dengan kasar tangan nya , di sertai bentakan cukup keras :

"Pulang!" kata salah satu dari dua lelaki itu. Belakangan  aku baru tahu, ternyata orang itu suami kakak nya. Aku hanya menunduk, dan memutar badan. Tak mengerti, apa kesalahan yang telah kulakukan?  

Rupanya  Ana keluar malam itu, dan jalan bareng denganku secara sembunyi - sembunyi, setelah selesai mengaji . Itulah mengapa suami kakak nya dan saudara kandung nya sangat kuatir dan mencari Ana yang pulang terlambat  sampai hampir jam sepuluh malam?

 Keluarga nya mungkin termasuk  keluarga  yang sangat hati - hati dalam menjaga pergaulan putri mereka. Dengan siapa? Kemana?  Tentu saja, tujuan mereka baik, dan ingin melindungi Ana.  Belakangan aku baru tahu, dan memaklumi hal itu. 

Tapi inikah harga yang harus kubayar untuk mendapatkan cinta nya?  Benakku mulai dihantui berbagai fikiran.  


Kasih,
Meski badai menghadang
Dan petir menyambar 
Aku tak kan berhenti tuk mencintaimu

Prahara adalah ujian 
Kilat guntur petir dan badai
Adalah permulaan
Sebelum hujan turun kebumi
Dan menghidupkan hati



Satu hati sampai mati