Rabu, 09 September 2020

Bab.II. hal.4 Hadir Pernikahan

4. Hadir pernikahan



Undangan biru muda itu diletakkan Trisna di tanganku. "Ana segera menikah,"  Katanya, dengan raut wajah muram. 

Aku tak mampu berkata - kata. Hanya ada sesak dan kepedihan di relung jiwa. Cinta, kau telah renggut kebahagiaan di hati kami. Mengapa kau pernah hadir, jika akhirnya kami harus berpisah seperti ini? Takdir, kemana kau seret kami dalam hidup selanjut nya. Pertanyaan ini bergayut di kepala, ketika Trisna berpamitan dan mohon diri dari hadapan ku. 

Rasanya baru saja kami tertawa bersama. Baru saja kami menikmati indah nya hari penuh cinta. Dan besok, kami akan menjalani takdir. Berpisah dan hidup dijalan yang berbeda. 

Ana akan segera berperan sebagai istri dan ibu bagi keluarga baru nya. Dan Aku? Aku harus melanjutkan hidup, menyelesaikan sekolah, lalu berfikir untuk selanjutnya. 

Pengecutkah Aku? Mungkin Ana sempat merasa bahwa itulah yang ada pada diriku. Tapi Aku tau dan menyadari, saat itu, langkah terbaik ku adalah melepaskan nya. Agar  Ana bahagia. Karena aku takut tak sanggup membahagiakan nya.  Aku takut Ana sengsara jika kami memutuskan untuk tetap bersama. 

Aku tak sanggup melihat kesedihan dimata nya. Karena Aku sangat  mengasihi nya. Bagiku kebahagiaan nya adalah kebahagiaan ku juga. Senyum nya adalah senyumku pula. Dan harapan itu kutitipkan kepada lelaki beruntung yang menkahi nya. 

Kudengar kata nya, Ikhsan, calon suami nya, orang yang  sudah mapan. Sudah bekerja cukup lama, dan sudah menjadi orang kepercayaan bos nya. Aku pernah melihat nya beberapa kali, ketika ia sedang bekerja. Penilaianku, Ikhsan orang yang tekun. Bekerja keras, dan bertanggung jawab. 



Malam itu Aku datang sendiri. Kucoba menguatkan hati. Aku hadir pernikahan nya. Jalan yang kulangkahi terasa begitu panjang, jauh dan tak kunjung tiba. 

Dari jarak sekitar lima puluh meter, terdengar musik yang cukup keras dari sound system yang dipasang di luar tempat perhelatan nya. Dengan wajah tertunduk lesu, kudekati tenda  yang dipasang di depan rumah nya malam itu. Aku tak sanggup mendekat lagi. Kuputuskan untuk duduk di barisan paling belakang dari deretan kursi. untunglah tak ada yang mengenalku disitu. 

Malam itu, kulihat kebahagiaan di wajah mereka. Ikhsan tersenyum cerah menyalami tamu- tamu nya. Ana juga terlihat sumringah. rupa nya Dia telah melapangkan dada menerma takdir hidup nya. 

Tinggallah Aku sendirian, melihat dari kejauhan, dan meratapi nasib serta kisah kesedihan yang harus kutanggung dan jalani sendiri. Aku tak punya selera untuk mengambil hidangan yang di sediakan di meja depan, apalagi mendekati mereka untuk bersalaman. 

Hanya sekitar lima belas menit, aku segera berpamitan, dan kukatakan kepada bagian penyambut tamu, bahwa aku gak enak badan. Mohon diri dan berjalan pelan. 

Ketika kuseret langkah dari tempat itu, kaki terasa begitu berat, badan ku terasa ringan, kosong dan seperti melayang. Mata ku terasa ber kunang - kunang. Pemandangan ku tiba - tiba gelap, hampir saja aku tumbang dan jatuh ke pinggir jembatan. Cepat kusambar kayu bulat yang berdiri didekat tempat itu, mungkin tiang jemuran. Sejenak Kupejamkan mata, dan kubuka perlahan-lahan. 

Syukurlah, Aku tak sampai jatuh pingsan,!. 

Tak dapat kugambarkan suasana hati  saat itu.

Dadaku terasa begitu perih dan sesak. Jantungku berdetak tak beraturan. Kepalaku terasa sakit luar biasa. Dan tenaga ku seperti tak sanggup lagi untuk melangkah. Kupaksakan diri untuk menjauhi tempat pernikahan nya, dengan berjalan sempoyongan. 

Selamat jalan cinta, semoga kalian berbahagia, gumamku dalam hati.