Rabu, 09 September 2020

Bab.IV.hal.2. Dicekam kesepian

2. Dicekam kesepian,  



Kota Malang dari zaman ke zaman

Malam itu, malam minggu, ...
Dari atas jembatan penyeberangan di depan Ramayana, kusapu  pandangan ke sekitar nya. Di alun - alun kota Malang, ramai anak - anak kecil berlari riang kesana - kemari, sambil tertawa lepas. Kerlap - kerlip lampu kendaraan, terlihat begitu menyilaukan mata. Banner dan baliho terlihat jelas dengan lampu sorot terang benderang. Suasana bising dan ramai. Sesekali terdengar suara trompet yang di jajakan pedagang mainan. 

Perlahan gerimis turun rintik - rintik, membasahi rambut dan wajah ku.

Orang - orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. 

Aku tak beranjak dari tempat itu. Terpaku seperti patung .

Ada perih menusuk jantung ku. Kesedihan yang begitu mencekam. Rasa terasing dan bagai terlempar ke dunia lain. Sepiii,!!.  Entah mengapa?.


Kenangan dan Luka


Sudah sekitar enam tahun aku di kota ini. Sambil belajar, ikut seminar, berdiskusi, dan bekerja, kegiatan yang cukup padat itu, tak memberikan ruang buat ku untuk mengingat hal lain nya. 

Tapi entah mengapa, malam ini, ketika melihat banyak pasangan yang  lalu lalang sambil bergandengan tangan, tiba-tiba aku merasa sendirian?  

Fikiran ku menerawang jauh  ke tanah seberang. Rasa rindu pada nya, tiba - tiba datang menyeruak. Kenapa? Mengapa aku masih mengingat nya? Bukankah ia sudah menikah, dua belas tahun yang lalu? Itu terjadi sekitar tahun sembilan belas delapan empat, dan sekarang sudah  sembilan belas sembilan enam? Rupanya lautan tak mampu memisahkan rasa rindu. Jarak tak sanggup memotong nya. Dan waktu hanya tersenyum dari balik detik dan detak nya.  

Perlahan ada tetesan hangat bercampur air hujan membasahi pipi ku. Kepedihan ini terasa begitu lekat, pekat dan mengikat. Menyesakkan dada.  

Kukepalkan tangan ku mencari kekuatan untuk mengusir kesedihan ini, tapi yang kurasakan justru kenangan ketika dulu kugenggam jemari tangan nya. Lalu terngiang ditelinga gelak tawa dan senyum indah itu. Tuhan? Berdosakah  jika aku masih mencintai nya? 

 Jika saja dulu aku memilih untuk tetap bersama nya, apa yang akan kami jalani saat ini? Kenapa dulu aku tak pernah berfikir untuk membawa nya menyeberang ke pulau Jawa? 



Hujan semakin deras dan menyadarkan ku untuk mencari tempat berteduh malam itu. Di emperan Bank Indonesia, Yang letak nya persis di kaki jembatan penyeberangan, kunyalakan sebatang rokok, lalu kusedot dalam - dalam.  

Fikiran ku kembali menerawang, tentang hidup yang kulalui dan jalani. Usiaku sekarang sudah mendekati tiga puluh tahun.  Rasanya aku ingin menikah sesegera mungkin. Tapi dengan siapa?  Aku tak punya kekasih tambatan hati. Aku tak sanggup lagi mencintai. Aku sudah tak punya hati untuk dibagi. Semua  sudah kutinggalkan di tanah asalku. 

Tiba - tiba aku ingat sesuatu. Bukankah di Jawa sini, pernikahan bisa dilakukan dengan cara ta"aruf? Cukup dengan melihat calon pasangan, kita bisa menikahi mereka. Tapi kita kan tak saling mencintai?

Cinta akan datang nanti, setelah menikah, kata sahabatku, pernah suatu waktu dulu. Jika benar ada nya, aku ingin segera menikah dan membangun rumah tangga. Aku tak peduli lagi, apakah istriku nanti akan mencintai ku atau tidak. 

Aku butuh pasangan hidup, untuk menemani hari- hari yang akan kulalui. Aku butuh tempat berbagi. Aku perlu tempat kembali, dan berlabuh dari ganas nya ombak dan badai kehidupan. Aku perlu tempat berteduh dari terik matahari dan dinginya hujan. Aku tak butuh cinta, karena aku sendiri sudah kehilangan rasa untuk mencintai.

Mungkin nanti ketika memiliki anak, aku dapat menyalurkan rasa cinta dan kasih sayang kepada mereka.  Begitu fikirku malam itu. Dalam hati, aku berjanji pada diri sendiri, anak - anak ku nanti, tak akan kubiarkan ikut merasakan pahit getir nya hidup, seperti yang pernah kulewati.  

Aku akan berikan kasih sayang, dan cinta, melimpah buat mereka. Akan kupertaruhkan nyawa sekalipun, agar mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dibanding masa kecil  dan kehidupan ku. Aku akan bekerja keras untuk mereka. Mengubah tangis yang dulu kualami, menjadi senyuman dimata mereka. Akan kuberikan pendidikan terbaik yang sanggup kuperjuangkan nanti. Begitu tekad ku.  

Sampai jam sebelas malam hujan baru reda, aku bergeser ke pinggir jalan, melambaikan tangan ke taksi yang sedang lewat, lalu pulang kerumah malam itu.  

Diantara derai gerimis
Air mata menetes malam itu
Rindu pada sesosok wajah
Yang tertinggal oleh waktu

Samudra kini jadi penghalang
Jarak dan keadaan memaksa
Cinta,?
 Masih kah ada disana? 
Tersimpan di raga yang tak kumiliki