Rabu, 09 September 2020

Bab.IV. hal.1. Merantau

Bab.4.
1. Merantau


Merantau 

Biru lautan luas terhampar di hadapan Ku., .......
 Debur ombak menghantam lambung kapal berdentum keras. Percikan air laut sesekali sampai ke atas deck. Beberapa anak kecil tertawa riang sambil mengelap muka nya yang kena percikan air asin.

 Angin laut pagi itu menyapu wajah ku. Kubentangkan kedua tangan dan menghirup udara kebebasan lautan diatas deck kapal dekat cerobong asap. Matahari pagi bersinar cerah, secerah hati dan jiwa yang kurasakan seperti lepas dari pengap nya kehidupan di dalam sebuah peti. 

KM. Bukit Raya tengah berlayar tenang di atas lautan dalam, menuju kota Surabaya, yang kini tengah ku tumpangi.

Ya,! Aku memutuskan merantau kepulau Jawa. Kutinggalkan bumi khatulistiwa. Kutinggalkan orang tua. Kutinggalkan pekerjaan ku, kerabat, sahabat, teman, dan kenangan. Aku ingin mengenal dunia luar, bukan hanya kota tempat dimana  aku dilahirkan. Bukankah dunia tak selebar daun kelor?  

Dan Ayahku pernah berpesan : " Jika sempit disuatu tempat, keluarlah, hijrahlah,!"  Jika sempit penghidupan di darat, carilah di laut, jika tak dapat di barat carilah di timur, rezeky dan karunia Allah bertebaran di muka bumi, tinggal kita saja bagaimana berusaha memungut nya, !' Begitu nasehat beliau kepada kami. 

Mungkin keputusan ku ini salah, tapi aku tak peduli. Bagiku, menikmati hidup lebih utama dari sekedar menjalani hidup. Rutinitas hanya akan menghasilkan terpenuhi nya kebutuhan hidup, bukan kepuasan hidup. Kita juga tak pernah tau berapa usia kita hidup dimuka bumi ini? 

Menurutku, hidup adalah anugrah yang harus kita syukuri, jalani dan nikmati. Segala yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Aku tak menyesal meninggalkan statusku sebagai PNS. Bagiku, hidup bisa dimana saja. Dan resky? Aku tak pernah bingung urusan resky, karena aku meyakini Allah sudah menjamin nya, bahkan sejak kita di alam rahim, diperut ibu, kita sudah di beri resky oleh Nya. 



Diatas kapal ketika diterjang ombak 


Malam ini, di bagian buritan kapal, -,ditemani segelas kopi dalam gelas plastik dari kantin tadi,- aku menatap lautan dikegelapan malam. Sempat terbersit ingatan tentang nya. Sudah enam tahun kami berpisah. Apa kabar nya sekarang? Berapa anak nya? Selama ini, aku memang tak pernah berupaya untuk menemui nya. Aku tak mau mengganggu rumah tangganya. Aku takut, kehadiran ku akan merusak kebahagiaan nya. Biarlah Dia menjalani hidup nya. Menjadi istri dan ibu yang baik. Menjadi cahaya dalam kehidupan keluarga nya. Menjadi nafas bagi suami nya. 

Pernah mencintai dan dicintai nya, adalah  anugrah terindah yang pernah aku terima. Satu bagian dari episode kehidupan  yang tak kan pernah dapat kulupakan. Seumur hidup. 

Kuseruput sisa kopi di gelas, lalu kutinggalkan buritan kapal dan masuk keruang penumpang, duduk di kursi sambil melihat film yang di putar dari layar video kapal malam itu. 

Entah berapa lama dan sampai dimana kisah film nya, aku tak ingat pasti, karena aku terlelap, dan sadar ketika matahari sudah cukup tinggi. 

Dikejauhan, patung Jalasveva Jayamahe, pelabuhan Perak Surabaya, sudah kelihatan. Setelah turun dari kapal, aku melanjutkan perjalanan ke  terminal Bungurasih, naik bis ke arah Malang  mencari alamat sahabatku yang tempo hari berkirim surat dan bersedia menampung ku, jika aku mau merantau ke pulau Jawa. 

Pukul empat sore, aku tiba di depan rumah kontrakan sahabatku itu. Dia menyambut ku dengan sumringah. Mempersilahkan aku menempati satu dari dua kamar yang di sewa nya, untuk tempat tinggal dan bertahan di sana. 

Alhamdulillah, Aku sudah sampai di pulau Jawa.  


Jiwa ku tersesat dalam lika -liku cinta,..